Kuburan Unik Masyarakat Desa Trunyan


Kalau berkunjung ke Bali, tak ada salahnya  ke desa adat Trunyan yang lokasinya berada di tepi Danau Batur, Kintamani, Bali. Begitu juga yang kami lakukan saat berkesempatan bertugas ke Bali. Dengan ditemani dua rekan saya, Valty dan Doni, Desa Trunyan adalah salah satu sasaran untuk kami kunjungi.

Berangkat pagi hari pukul 9.00 WITA dari Legian tempat kami menginap, Made yang menjadi  driver sekaligus pemandu kami menuju desa Trunyan.Setelah menempuh waktu selama kurang lebih dua jam mulailah nampak Gunung Batur yang dikelilingi sebuah danau besar bernama Danau Batur yang berada di wilayah Kabupaten Bangli, Kecamatan Kintamani.

Melihat beningnya danau dan sejuknya hawa pegunungan siang itu ingin rasanya kami cepat-cepat menuju ke Trunyan. Setelah  setuju dengan harga yang telah disepakati, berangkatlah kami menuju Terunyan dengan menempuh perjalanan selama kurang lebih tigapuluh menit dengan perahu.Meski menyeramkan, tak sedikit wisatawan yang penasaran dan ingin melihat sendiri Kuburan Trunyan. Mencapai tempat ini juga tergolong gampang.Kia  bisa menyewa perahu dari Dermaga Kedisan di salah satu sisi Danau Batur, langsung menuju Kuburan Trunyan. dengan waktu tempuh sekitar 30 menit sekali jalan. Perahu ini bisa membawa sampai 5 wisatawan sekali jalan. 


Yang membuat kami penasaran untuk mengunjungi Trunyan, karena  masyarakat Trunyan mempunyai tradisi sejak ratusan tahun yang lalu untuk memakamkan warganya dengan cara  membiarkan jenazah tanpa dikubur dan tidak tercium bau busuk, ini dikarenakan baunya terserap oleh pohon Tarumenyan yang konon dulu harumnya menyebar ke seluruh wilayah nusantara bahkan sampai ke negara tetangga.

Dan sampailah kami di tempat pemakaman adat Desa Terunyan. Setelah menyampaikan pemberitahuan kedatangan kepada petugas yang menjaga dekat pintu masuk, selanjutnya kami bisa memasuki wilayah pemakaman tersebut.Dengan dibantu seorang pemandu , Wayan Wita yang sejak tahun 1980-an sudah menjadi  pemandu di kuburan Trunyan.  Wayan, menunjukkan pohon Tarumenyan yang usianya sudah mencapai ribuan tahun. 


“Jadi  yang dimakamkan disini dengan syarat, mayat harus utuh dan meninggal secara normal. Tak ada luka atau penyakit. Layak atau tidaknya seseorang 'dikubur' di Trunyan juga dilihat dari baik atau buruknya perilaku orang tersebut semasa hidup,” ujar Wayan Wita.

Jumlah jenazah yang ditutup ancak saji hanya 11, tak akan bertambah maupun berkurang. Jika sudah penuh, tulang-tulangnya digeser sehingga tengkorak pun berkumpul di bagian ujungnya.

Sebuah tempat kuburan yang unik. Alih-alih dimakamkan, atau dibakar layaknya upacara Ngaben cara Bali, jenazah di Desa Trunyan dibiarkan begitu saja di atas tanah. Mayat-mayat ini hanya ditutup ancak saji yang terbuat dari dedaunan. Anehnya, tak ada bau bangkai tercium di sini. Padahal tengkorak dan tulang-belulang berserakan di banyak tempat. Tak ada pula aroma bunga kamboja seperti yang umum tumbuh di pemakaman. Penyebabnya adalah Taru Menyan, pohon raksasa asal nama Trunyan.Pohon itu berdiri tegak di tengah kuburan, daunnya melambai-lambai terkena angin. Pohon besar inilah yang konon menghasilkan aroma semerbak, menghilangkan bau bangkai di udara. Akar Taru Menyan menjulur ke berbagai tempat, salah satunya tempat deretan ancak saji berisi mayat. Di sekitar ancak saji terdapat benda-benda peninggalan mendiang. Ada foto, piring, sapu tangan, baju, perhiasan, dan lain-lain. Saat penulis mendekati ke ancak saji berisi mayat, terlihat mayat seseorang yang sedang dalam proses mengering. Seram juga melihatnya.

Menurut Wayan Wita, dari cerita turun temurun, Taru Menyan-lah yang wanginya  sampai ke sebuah kerajaan di Pulau Jawa. Ada  4 bersaudara dari Keraton Surakarta  mengarungi daratan dan lautan hingga tiba di Desa Trunyan karena ingin mengetahui asal aroma wangi tersebut. Singkat cerita, 4 bersaudara itu terdiri dari 4 laki-laki dan si bungsu perempuan. Setibanya di Trunyan sang kakak sulung jatuh cinta kepada Dewi penunggu pohon tersebut.Setelah menikah, jadilah Trunyan sebuah kerajaan kecil. Meski sang Dewi penunggu pohon telah menikah, Taru Menyan masih mengeluarkan wangi. Akibat takut diserang dari luar karena semerbak wanginya, sang Raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu dengan cara meletakkan jenazah begitu saja di atas tanah.

Wayan Wita juga menjelaskan, Ada dua cara pemakaman di desa trunyan. Pertama, meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.  Kedua, dikubur atau dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal. 

Lebih lanjut ia menjelaskan, ada tiga macam kuburan: 
  1. Sema (kuburan) Wayah bagi warga yang kematiannya wajar. Letaknya paling utara. 
  2. Sema Muda untuk menguburkan bayi dan anak kecil atau warga yang sudah dewasa tetapi belum menikah. 
  3. Sema Bantas untuk warga yang kematiannya tidak wajar, misalnya karena kecelakaan atau karena bunuh diri. Dua kuburan pertama, Sema Wayah dan Sema Muda, letaknya agak berjauhan dengan desa,  sedangkan Sema Bantas terletak di dekat Desa Trunyan


“Pohon Taru Menyan  bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan atau lebih dikenal sebagai Terunyan yang kai yakini sebagai asal usul nama desa kami,” ungkap Wayan Wita.

Setelah selesai berbincang-bincang dengan Wayan Wita, kami pun berfoto-foto di lokasi kuburan Trunyan. Tak lama tiba lagi rombongan lain ke lokasi ini menambah penuh pengunjung yang melihat kuburan Trunyan. Kami pun bergegas menuju dermaga perahu untuk segera mengunjungi ke desa Terunyan sekaligus kembali ke Legian.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusuri Entikong

Pantai Lampuuk, Keindahan Alam Aceh yang Mempesona