Menyusuri Entikong
Jalan-jalan di
Entikong ternyata romantis, semua sisinya menawarkan kenangan dalam keindahan.
Alunan
musik lawas mengiringi langkah kami dari Supadio Pontianak menyusuri jalan
sunyi menuju daerah terpencil bernama Entikong. Kiri dan kanan kami tampak
hutan dan sungai mendominasi. Tak pelak, sepanjang perjalanan kami disuguhi
hutan lebat, kelok sungai, perkebunan sawit yang kurang terurus, dan sesekali
terdapat perkampungan kecil khas dayak, dengan segala atributnya. Asyik kami
dibuatnya. Namun, goncangan bus membuat badan terasa sakit manakala melintasi
gelombang jalan berlubang. Rupanya beberapa ruas jalan yang kami lalui
kondisinya memang memprihatinkan.
Kata
orang daerah perbatasan merupakan garda terdepan sebuah bangsa, hal itu sangat
benar adanya. Namun kita tidak sedang membahas daerah perbatasan di Indonesia dengan
segudang permasalahannya. Melainkan dari keunggulannya. Daerah perbatasan ini
cukup dikenal luas karena beragam problematika yang mengirinya. Masalah sosial-kultural,
ekonomi, politik, dan tak jarang memunculkan beragam kontroversi. Dibalik itu
semua, daerah perbukitan ini ternyata sungguh menawan. Kelok jalan serta hutan
alamnya memancarkan keindahan tersendiri. Ya, Entikong, sebuah kecamatan paling
pinggir terletak di kabupaten Sanggau provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan
langsung dengan Serawak, Malaysia.
Konon, nama Entikong bermula dari letak desa
yang berada di tikungan Sungai Sekayam. Masyarakat setempat menyebut
tikungan atau dengan dialek Melayu
“tekong”. Untuk menuju Entikong dari Pontianak dapat ditempuh melalui
jalan Trans-Kalimantan poros selatan sampai kecamatan Tayan kemudian melintas
ke Utara melewati kecamatan Batang Tarang, Sosok, Kembayan dan akhirnya masuk ke
Entikong melalui jalan Trans-Kalimantan poros Utara. Dua jalur itu telah kami
lalui. Jarak yang kami tempuh dari Pontianak sampai Entikong sekitar 310 km
dengan waktu tempuh kurang lebih 7 jam. Terasa melelahkan juga bagi kami.
Setibanya di daerah Entikong kami
disambut oleh rekan pegawai Bea Cukai setempat. Ia menjelaskan sekelumit
tentang Entikong. Salah satu hasil bumi yang dijual disini adalah sayur-sayuran
dan rempah-rempah seperti lada. Hal itu tampak terlihat. Tak jauh dari KPPBC Entikong
pun ada perkebunan lada, atau ‘sahang’ begitu warga setempat menyebutnya. Hasil
bumi ini ternyata sangat diminati warga Malaysia. Karena bernilai ekonomi
tinggi, tak ayal sahang saat ini menjadi komoditas pertanian andalan masyarakat
setempat, dan masyarakat Kalimantan pada umumnya.
Ada anggapan, masyarakat melakukan jual
beli ke Malaysia bukan hanya karena masalah harga, melainkan karena di negeri
Jiran tersebut ada penampung hasil bumi yang sudah dikenal masyarakat.
Sedangkan di Kalimantan Barat atau di Indonesia tidak ada. Mata pencaharian penduduk Entikong didominasi bidang
pertanian. Selain itu bidang perdagangan, dan pengolahan kayu hutan. Apabila
dilihat dari ragam jenis etnis masyarakatnya, Entikong sangat heterogen, antara
lain mayoritas etnis Dayak, Melayu, Jawa, Cina, Banjar, dan Bugis. Karena etnisnya
sangat beragam maka agama yang dianutnya juga cukup beragam.
Jalan-jalan ke Tebedu Malaysia
Entikong berbatasan langsung dengan
daerah Tebedu, Malaysia. Tebedu merupakan kota penghubung
dengan beberapa aktivitas bisnis seperti swalayan dan restoran. Transaksi di
wilayah ini masih bisa dilakukan dengan rupiah. Karena letaknya yang relatif
dekat, Tebedu kerap dijadikan tujuan pelancong dari Kalimantan Barat khususnya
Entikong untuk sekadar berbelanja atau makan siang.
Sebelum
ke Tebedu kami tentu harus melewati pos pemeriksaan lintas batas (PPLB)
Entikong. Kami bertemu dengan beberapa aparat yang berjaga di sana, pihak
kepolisian, imigrasi, karantina, dan tentu saja rekan-rekan kami dari Bea
Cukai. Suasana hiruk pikuk perbatasan sangat terasa. Antrian orang di loket
pemeriksaan passport, teriakan
kondektur bus antarkota-antarnegara, dan teriakan penjual jasa penukaran uang
seakan masih ada di telinga. Sungguh ini perjalanan yang mengesankan karena
dari hal itu kami belajar bagaimana negara mengelola wilayah perbatasannya.
Sejak
PPLB Entikong resmi dibuka pada 1991, mobilitas penduduk Entikong dan sekitarnya
dari dan ke Malaysia mengalami peningkatan pesat. Transportasi umum berupa bus
antarnegara yang melayani rute Pontianak-Kuching-Bandar Sri Begawan PP semakin
ramai. Aktivitas lintas batas itu tentunya menghidupkan perekonomian masyarakat
setempat di luar sektor pertanian dan perkebunan. Hal itu ditandai dengan
bermunculannya beberapa warung makan, toko kelontong, usaha penyewaan kendaraan,
money changer, penginapan, dan usaha ekspedisi
yang melayani pengiriman barang lintas negara. Seperti halnya perbatasan yang
lain, di Entikong juga dapat dengan mudah ditemui produk makanan dan minuman
dari Malaysia. Tempat berbelanja favorit bagi masyarakat Entikong adalah
supermarket Sin Guan Tai yang terletak di Tebedu. Untuk mengobati rasa
penasaran, sebelum kembali ke Jakarta, kami pun menyempatkan diri berbelanja di
sana. Tak banyak, sekadar untuk buah tangan. (Supomo,
Ariessuryantini dan ARH)
Komentar
Posting Komentar