Menuju 2368 Mdpl Eksotika Kawah Ijen


Pagi belum juga menyembulkan wajahnya. Disaat orang-orang masih terlelap dengan buaian mimpinya, sekelompok penambang memilih bersiap-siap menanggalkan pulasnya tidur dan menantang dinginnya malam untuk menyongsong rejeki meski hari masih malam. Begitulah kehidupan mereka, kegiatan ekonomi mereka dimulai sejak pukul duabelas malam atau pukul 24.00 WIB malam, suatu pekerjaan diatas rata-rata kemampuan orang yang kenyataannya kami saksikan sendiri. Sungguh miris perasaan ini menyaksikan polah para pengais belerang.

Keinginan untuk menghilang sejenak dari kehidupan hiruk pikuk perkotaan, sekedar untuk memandang bintang di langit malam hari dan pesona kawah Ijen yang tersohor itulah yang membulatkan tekad saya dan rekan saya, Dico untuk mendaki Gunung Ijen.
Saat yang tepat untuk menyaksikan keindahan Ijen adalah pada dini hari antara pukul 02.00 hingga 04.00, saat itu kita dapat menyaksikan bagaimana pijaran api biru. Kami tiba di kaki gunung untuk memulai pendakian sekitar pukul 01.00 malam. Sebelum memulai pendakian, kami berlima ditemani 3 orang pegawai KPPBC Banyuwangi mampir dulu ke kedai kopi sekedar menyeruput segelas kopi panas dan semangkuk mie instan panas untuk menghangatkan badan yang sudah mulai dijalari hawa dingin gunung Ijen. Lokasi kami ini adalah di Pos Paltuding, dimana ketika kami hendak mendaki harus melapor dulu ke Pos jaga untuk laporan wisatawan.

Pukul 01.30 pendakian dimulai. Sambil berjalan kaki sekali-kali saya dan teman-teman berhenti menengadahkan wajah ke atas langit, melihat banyaknya bintang bertaburan, menerangi perjalanan kami malam itu, takjub sekali, tontonan yang tidak bisa kami dapat di Jakarta. “Lihat bintang jatuh,” begitu teriak Dico. Ya kami melihat sebuah bintang jatuh diantara kerumunan bintang di langit. “Hayooo kita buat permintaan yang bagus-bagus supaya dikabulkan. Konon kalo ada bintang jatuh permintaan kita terkabul,” begitu canda saya kepada teman-teman. Ada yang menanggapinya serius sambil memejamkan mata meminta permohonan dalam hati, ada juga yang hanya tertawa-tawa.

Jarak yang harus kami tempuh dari Pos Paltuding ke Puncak Gunung Ijen adalah sekitar 3 Kilometer. Lintasan awal sejauh 1,5 km cukup berat karena menanjak . Sebagian besar jalur ditempuh dengan jalan agak miring kira-kira 35 derajat dan struktur tanahnya berpasir, semakin menambah berat langkah kaki ini karena harus menahan berat badan agar tidak merosot ke belakang lagi akibat jalan licin berpasir. 

Disepanjang kanan dan kiri jalan adalah jurang-jurang yang dipenuhi pohon besar dan semak yang merupakan cagar alam taman wisata Gunug Ijen. Tibalah kami di Pos Bunder, sebuah Pos yang berbentuk lingkaran, tempat para pendaki untuk beristirahat untuk melanjutkan 1,5 km perjalanan lagi. Sekitar 30 menit kami beristirahat bersama pendaki-pendaki lainnya, untuk selanjutnya meneruskan pendakian ke puncak gunung yang kali ini disuguhi dengan medan yang relatif agak landai sehingga meringankan perjalanan kami. Kami juga disuguhi pemandangan deretan pegunungan yang sangat indah.

Jalan setapak menuju kawah Ijen yang cukup melelahkan ini sehari-hari juga dilewati oleh para penambang belerang. Kami pun berjalan bersama-sama dengan para penambang yang membawa pikulan kosong untuk diisi dengan bongkahan belerang di lokasi Kawah Ijen. Pukul 2.30 sampailah kami di atas puncak Gunung Ijen.
“Waah perjalanan yang lumayan melelahkan disamping hawa dingin gunung yang menusuk sampai ke tulang.” Ternyata perjuangan kami belum berhenti sampai di puncak, karena untuk mendekati Api Biru kami harus turun menuju kawah dan melintasi medan berbatu-batu sejauh 250 meter dengan kondisi yang terjal, curam dan terdapat batu-batu tajam. Antara penasaran, takut dan ngeri akhirnya saya mengikuti rekan-rekan untuk menuju lokasi kawah. Sesekali saya dibantu oleh teman-teman supaya badan saya tidak oleng takut kalau terjatuh. Setelah kurang lebih 40 menit jalan menurun sampailah kami di lokasi kawah api biru. Subahanallah itulah Kekuasaan yang Tuhan berikan, saya merasa bersyukur dan beruntung karena bisa melihat kebesaran Tuhan lebih dekat, dan karena kuasa-Nya lah juga saya bisa mencapai lokasi blue fire meski dengan susah payah bahkan baju dan jaket saya sudah basah oleh keringat, saat pendakian dan saat turun ke lokasi kawah.

Angin berhembus semakin kencang, kalau kita tidak pintar-pintar menghindar bisa terhirup asap belerang, yang bisa membuat mata kita pedih dan batuk-batuk. Kadang-kadang untuk kami bisa mendapatkan gambar yang bagus saat memotret harus berkejar-kejaran menghindari arah asap belerang yang menghampiri kami, apalagi suasana ketika itu masih gelap. Tapi sepintar-pintarnya kita menghindar, saya terkepung asap belerang juga, akibatnya batuk-batuk dan mata perih menghinggapi rombongan kami. Belum lagi hawa yang mulai panas menyergapi kami.

Tak terasa matahari mulai menampakkan terangnya perlahan-lahan, bersamaan pula nampak sebuah danau kawah berwarna hijau tosca yang menurut keterangan airnya sangat asam lokasinya berseberangan dengan kawah Ijen. Semakin terang, semakin banyak wisatawan yang datang. Bukan hanya wisatawan domestik, wisatawa luar negeri pun mulai memenuhi lokasi kawah Ijen yang mulai memendar warna birunya seiring dengan terangnya sinar matahari pagi. Jadi memang kawah Ijen hanya bisa dilihat pada saat suasana masih gelap. Jika sudah terang tidak akan terlihat lagi kawah api birunya, makanya itulah orang-orang yang ingin menyaksikan blue fire rela berangkat dini hari untuk mendapatkan moment tersebut. Kawah Ijen adalah sebuah danau kawah yang bersifat asam yang berada di Puncak Gunung Ijen dengan tinggi 2368 meter di atas permukaan laut dengan kedalaman danau 200 meter dan luas kawah mencapai 5466 Hektar. Kawah Ijen berada dalam wilayah Cagar Alam Taman Wisata Ijen, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.


Jalan Hidup Yang Harus Dilakoni Penambang Belerang

Di lokasi kawah Ijen inilah saya melihat betapa hidup sangat keras, orang-orang sekitar perkampungan mempertahankan hidupnya harus kerja keras yang menurut saya tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan ini. Hanya orang diatas rata-rata sajalah yang bisa melakukan pekerjaan ‘gila’ seperti ini. Sepanjang perjalanan kami banyak berpapasan dengan pemikul belerang yang rama dan bertukar salam. Tapi ternyata di lokasi mereka melakukan pekerjaan yang ‘gila’. Bayangkan saja mereka harus turun 250 meter untuk mengambil belerang dengan deraan asap belerang yang sangat menyesakkan pernapasan dan mesti naik lagi 250 meter menggotong 75 kilogram belerang untuk ditimbang di tempat penimbangan di Pos Bunder (tempat kami beristirahat ketika mendaki) untuk selanjutnya diserahkan kepada pengepul belerang di Pos Paltuding. Sepanjang perjalanan itu mereka menggotongnya dengan pikulan. Untuk Tubuh para penambang yang bisa dibilang tidak muda lagi terbongkok-bongkok menahan berat beban belerang yang dipikul. Disetiap kakinya melangkah selalu terdengar bunyi kriitkk..kriitkk..kriitkk, derit pikulan bambu menahan beban yang diangkut.

Sedih dan haru juga saya melihat para penambang yang harus mengangkat puluhan kilogram belerang hanya untuk mendapatkan uang sebesar antara 65 ribu – 75 ribu rupiah sekali menenteng pikulan. Namun pekerjaan itu mesti mereka lakukan hanya untuk mempertahankan hidup mereka dan keluarganya. Sempat saya menanyakan pada seorang penambang, Margono namanya dan menanyakan berapa usianya, ia mengaku usianya 47 tahun, tetapi mimik dan raut mereka sudah terlihat tua karena kerja keras malam hari dan kurang tidur.

Para penambang yang hanya berbekal botol minuman yang turun dan naik terlihat kecil dari atas. Untuk menuju ke sumber belerang, harus menuruni bebatuan tebin melalui jalan setapak. Peralatan sederhana dan seadanya yang jadi bekal mereka melakukan pekerjaan. Sapu tangan basah jadi alat yang wajib dibawa karena seringkali arah angin bertiup membawa asap menuju ke jalur penurunan, jadi dengan saputangan itu bisa melindungi kita supaya tidak terhirup asap belerang.

Batu-batu belerang ini kemudian diambil para pekerja tambang setelah dipotong-potong dengan besi linggis dan dimasukkan ke dalam keranjang untuk diangkut. Para penambang melakukan aktivitas memotong dan memasukkan belerang dalam keranjang sambil menggigit kain sarung atau potongan kain seadanya sebagai penangkis udara yang dipenuhi aroma belerang yang menyengat dan udara yang panas.

Beberapa tong besar sebagai penampung lelehan belerang yang masih panas untuk kemudian setelah mengeras dihancurkan dan dipotong-potong disekitar lokasi tadi. Meski begitu tak menghilangkan keramahan mereka terhadap pendaki-pendaki yang berani turun ke bawah sekedar melihat blue fire aktivitas mereka. Saat saya melihat-lihat kegiatan penambangan, saya mengunjungi sebuah tenda. Betapa sedihnya saya melihat pemandangan di dalamnya, seorang lelaki sudah tua yang sudah tidak kuat lagi memanggul berat terbatuk-batuk memasak air panas untuk rekan-rekannya sesama penambang yang beristirahat. Lelaki tua itu terlihat sedang makan dari bekalnya yang ia bawa. Selain keluhan sering mengalami sakit pinggang mereka harus menghadapi ancarman gas belerang. Bahkan saya pernah menyaksikan di suatu tayangan televisi, bahwa hasil rontgen tulang dan paru-paru para penambang hasilnya menunjukkan tulang bahu para penambang sudah bergeser, begitu juga paru-paru mereka yang bisa dikatakan rusak berat karena terkontaminasi oleh belerang yang mereka hirup setiap hari.


Meski begitu, dibalik cerita duka itu, sapaan ramah pun ia tujukan ke kami, rasanya tidak kuat saya melihat lelaki serenta ini masih berkutat dengan asap belerang yang sewaktu-waktu anginnya bisa menyerang ke dalam tenda mereka. Lelaki itu sambil terbatuk-batuk menyilahkan kami duduk sambil menawarkan batu belerang yang telah dibentuknya menjadi kura-kura, ada yang besar dan kecil. “Bagus mbak, buat cinderamata orang Jakarta. Silahkan dipilih, saya kasih 3 biji sepuluh ribu saja,” ujarnya. Tak tega saya untuk menolaknya dan saya pun memilih replika kura-kura itu dan melebihkan sedikit rejeki saya buat bapak tadi. Bahkan tak sedikit para wisatawan khususnya dari luar negeri sampai menangis setelah melihat dan berbincang-bincang dengan para penambang.


Setelah menyempatkan mengambil gambar-gambar aktivitas para penambang, dan berfoto bersama dengan beberapa wisatawan, kami pun memutuskan untuk naik lagi ke atas, disamping hawa panas sudah mulai terasa, kami juga diperingatkan oleh para penambang bahwa asap belerang sebentar lagi akan menutupi seluruh lokasi kawah Ijen, sehingga membahayakan para pengunjung dan bisa menutupi jalan kami untuk naik ke atas lagi.



Sebuah pelajaran hidup sudah saya dapat lagi dari kesempatan saya bertugas ke Banyuwangi. Pertama, saya berhasil mengalahkan ketakutan diri apakah saya mampu menghadapi suatu medan yang cukup berat yang menurut saya itu tidak mungkin bisa saya lakukan, hingga akhirnya bertemu para penambang dengan pekerjaan yang sangat tidak manusiawi tetapi dijalaninya. Bagi mereka yang menjalani pekerjaan ini, bahaya bukanlah penghalang malah sebaliknya bahaya sangat dekat dengan pekerjaan mereka sehari-hari. Bahaya akan keselamatan diri dan bahaya bagi kesehatan yang perlahan-lahan seiring waktu menggerogoti paru-paru mereka. Tapi bagi mereka, sebahaya apapun, itulah hidup yang harus dihadapi dan dijalani mereka dengan tulus dan ikhlas demi menghidupi anak dan istri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusuri Entikong

Pantai Lampuuk, Keindahan Alam Aceh yang Mempesona

Kuburan Unik Masyarakat Desa Trunyan