Menyusuri Jalur Tengah Jawa-Sebuah Catatan Perjalanan



Sudah sering melakukan perjalanan tugas dari kota ke kota di Indonesia, bedanya  kali ini saya tidak menjalaninya sendiri atau berdua saja. Ceritanya kami berdua, saya dan rekan Supomo, ingin mengangkat profil sebuah komunitas sepeda Customs Cycling Club (CCC) yang ada di kota Solo, Jawa Tengah dan Surabaya, Jawa Timur. Rencana untuk menggunakan fasilitas pesawat, kereta api atau bus malam sudah ada dalam angan-angan kami, hanya saja kebetulan Pembina sekaligus Manager Tim CCC yang ada di Kota Solo, Muhammad Ircham  sedang berada di Jakarta. Mendengar rencana kami tersebut, ia menawarkan kami berdua untuk menempuh perjalanan darat dengan menggunakan kendaraan roda empat.

“Ya hitung-hitung menemani pak Ircham, okelah bisa kita jajal,” kata Supomo menanggapi ajakan Pak Ircham.  Meski melakukan perjalanan tugas diluar kebiasaan ini, 8 Februari 2014, tepatnya hari Sabtu,  kami memutuskan untuk berangkat ke Solo. Saya dan Pak Ircham, yang merupakan pensiunan pegawai Bea dan Cukai janji bertemu di sekitaran Cawang, Jakarta Timur, pagi hari selesai sholat Subuh. Setelah saya berada di mobil pak Ircham, akhirnya kami berangkat memasuki tol Cikampek dan janji bertemu di pintu keluar Tol Karawang Barat dengan Supomo yang kebetulan tinggal di Kota Karawang, Jawa Barat.

Tol Karawang Barat pukul 7.00 wib, kita bertiga siap menempuh perjalanan dan dititik ini kami anggap sebagai awal perjalanan kami bertiga. Melewati  jalur Pantai Laut Utara (Pantura) selepas keluar tol Cikampek, kami disajikan suasana rusaknya jalan-jalan utama, akibat banjir beberapa waktu lalu. Jalan berlubang-lubang besar menyebabkan kemacetan yang lumayan memakan waktu. Kondisi ini ternyata dimanfaatkan warga sekitar untuk meminta uang kepada pengendara mobil dan motor, menambah macetnya jalur yang kami lalui.

Beberapa kota kami lewati selama di Jalur Pantura melintasi sejumlah kota-kota besar dan sedang antara lain  Cikampek, Subang, Indramayu dan Cirebon.  Memasuki kota Cirebon sekitar pukul 11.30 wib kami bertiga beristirahat untuk makan siang. Dan tak salah, Pak Ircham mengajak kami berdua untuk makan siang di sebuah kedai yang meski sederhana tetapi cukup terkenal terutama di kalangan pegawai Bea Cukai yang bertugas di Cirebon, karena lokasinya memang dekat dengan kantor Bea dan Cukai Cirebon yang berada di dekat Pelabuhan Laut. Nama kedai itu  Nasi Jamblang Hj Sumarni, Jamblang Pelabuhan. Rasanya lumayan enak dengan porsi yang pas, pilihan lauk pauknya pun bervariasi, dan yang penting harganya sangat terjangkau.

Selesai makan siang dan menjalankan sholat zuhur sekaligus menjama sholat ashar, Pak Ircham memutuskan perjalanan melalui jalur tengah, memasuki kota Brebes sekitar pukul 13.00 wib, kesibukan masyarakat desa disana jelas tergambar kalau mereka adalah pekerja keras. Ada yang sedang menjemur dan mengupas bawang merah mulai orang tua sampai anak-anaknya, ada juga yang sedang menggiring bebek ternaknya  ke sungai atau sawah yang banyak airnya untuk mandi dan mencari makan. 

Tepat di wilayah Kubangwungu yang merupakan sebuah desa di Kecamatan Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah  yang merupakan jalur tengah alternatif ke arah Bumiayu dan Purwokerto kami lihat sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai perajin tali tambang.  Selain bertani, masyarakat membuat tali tambang  untuk digunakan pada kapal,. Kegiatan masyarakat membuat tali ini dapat terlihat di sepanjang jalur alternatif Pejagan, (Brebes) sampai Prupuk (Tegal). Masyarakat mengerjakan di pinggir jalan searah dengan jalan yang membujur dari timur ke barat. Tali dengan ukuran panjang puluhan meter dibentangkan persis di pinggir bahu jalan. Sementara pekerja lain memutar roda untuk mengerol tali tersebut. Terdapat puluhan perajin tali di desa ini yang ditekuni secara turun-temurun. Dari cerita Pak Ircham, dulu pertama kali masyarakat membuat tali rami dari bahan pelepah pisang, namun seiring dengan kemajuan zaman kini berkembang menggunakan bahan baku limbah pabrik, baik itu plastik maupun limbah tekstil yang dimungkinkan bisa dijadikan tali atau tambang. Sungguh sebuah pemandangan yang cukup unik bagi kami yang tidak pernah menjumpainya di Jakarta. 

Dalam kondisi hujan yang cukup deras akhirnya kami memasuki kota Tegal, lanjut ke kota Banyumas, Purwokerta dan Purbalingga. Di kota Purbalingga kami beristirahat dan menjalankan sholat magrib. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Banjarnegara.  Sempat kami tawarkan agar driver diganti oleh Supomo, mengingat pak Ircham sudah berkendara sejak berangkat dari Jakarta, ternyata tawaran kami ditampik, karena alasannya dia belum merasa capek. Dalam hati saya menilai  kalau bapak ini memiliki stamina yang baik sehingga daya tahannya dalam berkendara menempuh ribuan kilometer bisa dikatakan tidak kalah dengan yang usia muda, bagaimana tidak ditanjakan dan turunan yang tajam Pak Ircham lihai dalam berkendara. Terkadang ada rasa ciut juga di hati saya sampai-sampai tidak berani memejamkan mata untuk tidur sejenak karena Pak Ircham membawa mobil dalam kecepatan tinggi. Salut buat Pak Ircham.
Tiba di Banjarnegara, kami dipertemukan dengan Bapak Harsono yang  merupakan salah satu pengurus CCC, terutama jika CCC melaksanakan perhelatan Liga Customs Cycling (LCC). Untuk seri pertama ini LCC akan dilaksanakan di Banjarnegara, sekalian dalam rangka itu Pak Ircham sengaja mampir menemui Pak Harsono menitipkan surat dalam rangka LCC untuk disampaikan kepada Bupati Banjarnegara. 
Setelah berbincang-bincang dan makan malam bersama kami pun segera melanjutkan perjalanan untuk bisa segera sampai ke Solo, tepatnya di perbatasan antara Boyolali dan Solo. Beberapa wilayah kami lewati, antara lain Temanggung, Wonosobo, Ambarawa, lalu ke arah Salatiga dan akhirnya pukul 00.20 kami pun memasuki kota Boyolali. Setelah mendapati wisma kami pun masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

 Boyolali, Angkringan dan Keramahan Warganya
Menikmati hari-hari di kota Boyolali, sungguh memberi kesan tersendiri bagi saya. Ternyata peminat sepeda professional untuk prestasi cukup banyak. Dari keterangan yang saya dapat ada beberapa klub sepeda yang diminati para pebalap baik untuk pemula, junior sampai junior. Mereka rata-rata sudah pernah mengikuti kejuaraan-kejuaraan, baik di tingkat daerah maupun nasional. Nah salah satu klub yang cukup diminati bagi para atlet maupun calon atlet adalah CCC, yang sudah banyak mencetak atlet-atlet nasional. Selama kurang lebih dua hari kami ngobrol bersama dan mengikuti para atlet CCC berlatih. Dalam waktu dekat ini mereka beberapa atlet dari CCC disiapkan untuk mengikuti event Le Tour de Langkawi, Malaysia, 27 Februari-8 Maret 2014.

Banyak sekali pengalaman yang saya dapat selama menghabiskan hari-hari di Boyolali, ternyata keramahan warganya, serta suasana sejuk akibat banyaknya pohon-pohon tua yang masih dilestarikan serta pematang sawah yang membentang,  sangat berbeda dengan Jakarta. Menikmati jalanan Boyolali-Solo Raya bersama Pak Ircham dan Supomo, membuat saya seperti hidup di jaman dahulu. Gedung-gedung lama yang masih dilestarikan, kontur tanahnya yang sedikit naik turun semakin menghadirkan kesan tersendiri. Tepatnya di kota Solo, aksara-aksara Jawa masih dilestarikan, aksara Jawa ini dicantumkan di setiap tulisan di jalan-jalan, di depan gedung pemerintahan, dan sekolah-sekolah. Udara yang mendekati dingin dan pemandangan luar biasa seperti menyatu, menghadirkan satu kesatuan yakni hawa bumi jawa yang sebenarnya.
Apalagi Boyolali di pagi hari, keluar dari tempat penginapan yang berhadapan dengan hamparan sawah terasa udara segar dan warna hijaunya menimbulkan rasa nyaman dan menyejukkan mata. Dan karena suatu ketidaksengajaan akhirnya saya dan Supomo menemukan tempat makan yang walau seadanya karena bisa dibilang merupakan warung  angkringan istilahnya,  namun cukup nyaman dan menarik hati kami untuk mendatanginya.

Angkringan ini biasa didatangi oleh petani-petani yang akan pergi ke sawah untuk sarapan pagi terlebih dulu atau sekedar minum teh dan kopi panas. Orang-orang  yang datang ke warung ini semata karena dorongan lidah atau perut, bukan mata, sehingga sesederhana apapun angkringan ini cukup membuat mereka puas dengan sajian makanan yang dijual. 

Di angkringan ini saya dan Supomo membaur dengan para petani yang ingin sarapan sebelum mereka beraktivitas. Kami sebagai pendatang yang baru dua hari di desa itu merasakan seperti tidak ada jarak dengan pengunjung angkringan, obrolan-obrolan lucu yang mengundang tawa sampai sampai masalah yang  serius, seperti yang sekarang ramai diberitakan di media-media, siapa lagi kalau bukan  si beras Vietnam. Intinya dari obrol-obrolan kami, mereka tidak mau tergantung dengan produk impor, karena kualitas beras yang mereka hasilkan lebih baik dari pendatang asal Vietnam. Dan hebatnya para petani ini tidak mau menggunakan pupuk kimia yang jelas-jelas memberi dampak buruk buat kesehatan, karena mereka lebih mengandalkan pupuk alami atau organik yang dihasilkan oleh ternak mereka. 

Cerita dan perjalanan saya berakhir dengan berhentinya Bus Cepat Eka di Terminal Bus Bungurasih, Surabaya yang telah membawa kami dari Solo.  Tujuan kami di kota ini untuk  kembali merekam kegiatan CCC, baik CCC komunitas maupun  CCC yang kelas prestasi atau professional. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusuri Entikong

Pantai Lampuuk, Keindahan Alam Aceh yang Mempesona

Kuburan Unik Masyarakat Desa Trunyan